Sekitar tahun 2009 bersama almarhum mas Ruly mterapi orang di RS Prikasih Fatmawati Jakarta.
Sebenarnya waktu itu saya terapi seorang klien yg merasa sakit ketika perban di perutnya yang bekas operasi harus diganti. Saya bantu dia untuk mengendalikan rasa sakitnya sampai dia mampu. Dan selesai.
Yang akan saya ceritakan bukan itu, tetapi ketika saya selesai terapi, dan kami ngobrol2 untuk pamit pulang, ibunya klien datang bersama perawatnya. Klien kemudian memperkenalkan ibunya kepada saya sebagai hipnoterapis, sambil menjelaskan kepada ibunya mengapa dia mengundang saya. Saya perhatikan ibu klien berjalan menggunakan tongkat kayu, kemudian terlihat seperti kelelahan dan duduk di kursi yang tersedia di kamar rawat inap itu. Dia berusia sekitar 70 tahunan.
Setelah ngobrol ngalor ngidul, ibunya klien berbicara kepada saya,
"Wah kebetulan, mas. Mas kan bisa buat anak saya gak terasa sakit lagi. Saya mau tanya" katanya sambil duduk memeluk tongkatnya.
"Baik, bagaimana bu?" jawab saya.
"Begini, saya ini sudah gak kuat jalan, makanya sekarang pakai tongkat. Lalu lama kelamaan saya jadi gampang capek. Seperti sekarang ini kalau sudah berjalan belum sampai sekitar 20 meter atau setelah beberapa menit jalan, rasanya capek, jadi saya harus duduk"
Saya perhatikan, memang perwatnya dari tadi sedang memegang kursi lipat kecil. Rupanya kursi itu gunanya seperti itu.
Secara iseng iseng saya tanyakan dia, "lho emangnya ibu dulunya bisa jalan lama?" tanya saya.
Lalu anaknya yang yadi saya terapi menimpali "Wah iya mas, dulu ibu ini hobinya jalan kaki kemana mana. Mungkin sudah tua, dia jadi gampang pegel kakinya, jadi pakai tongkat. Dulunya meskipun pakai tongkat bisa jalan agak lama. Entah, akhir akhir ini, kalo gak salah 3 bulan terakhir ini jadi gak kuat jalan lama.
"Iya lho, dulu aku iso mlaku suwi (bisa jalan lama), sa’iki (sekarang) koq gampang capek. Sithik sithik kudu leren (sebentar-sebentar harus istirahat)", keluh ibunya menambahkan sambil campur bahasa jawa.
"Nopo sampun (apakah sudah) periksa dokter bu, mungkin kakinya kenapa, mungkin tulangnya, mungkin ototnya, atau mungkin syarafnya?", tanya saya.
"Sudah pak", jawab anaknya"memang tulangnya ada oestophorosisnya, tapi kecil sih, kata dokter gak terlalu signifikan, otot dan syarafnya memang agak menurun karena usia, tapi gak terlalu signifikan juga sih"
"Saya juga sudah bilang sama ibu, ibu masih bisa jalan normal koq, gak perlu tongkat, tapi ibu gak mendel (nganggep), pak", lanjut anaknya.
"Yo tapi aku kan capek, mas. Opo aku wis tuwo (Apakah aku sudah tua), yo mas?" ibunya menimpal
"Hmm baik", kata saya, "Tapi, apa bener sih kalo dulu ibu memang suka jalan? Saya khan gak lihat dan gak tahu.”
“Woo, dulu ibu ini hobinya jalan-jalan keliling pasar, sampai-sampai bapak (maksudnya suaminya) bosen nemenin ibu, lho”, jawab ibunya. “tanya tuh sama dia”, sambil menunjuk anaknya yang sedang tiduran di tempat tidur.
“Jalannya jauh.. lama?” tanya saya lagi
“Iya. Mas. Muter-muter pasar Krempyeng (? Mudah-mudahan saya tidak salah dengar)” , awabnya
“Pakai tongkat?” potong saya.
“Ya, enggak donk. Pakai tongkat setelah diperiksa dokter katanya ada.. apa itu.... mm.. oestophorosis di tulang kaki ku”, kata ibunya sambil memegang lutut bagian bawahnya.
“Baik. Karena saya khan baru ketemu ibu sekarang, dan gak tahu ibu dulu seperti bagaimana. Bisa ibu tunjukkan kepada saya, seperti bagaimana dulu ibu suka jalannya?"
"Maksudnya piye (bagaimana) mas?" tanya ibunya.
"Maksudnya, ibu perlihatkan kepada saya sekarang juga, seperti bagaimana sih dulu ibu bisa jalan. Malah tanpa tongkat. Saya ingin lihat dan tahu", saya menjelaskan dengan wajah yang saya buat serius.
Mungkin karena si ibu merasa bahwa saya ingin mendiagnosa apa yg terjadi kalau dia berjalan, maka dia berdiri, lalu bertanya, "nganggo (pakai) tongkat opo gak, mas?"
"Lha, ya enggak donk, bu. Khan dulu juga gak pakai tongkat. Justru saya ingin tahu bagaimana cara ibu dulu berjalan tanpa tongkat".
"Nang kene (Didalam kamar ini)?"
"Inggih (Iya) bu, cukup bolak balik di kamar ini saja"
Saya perhatikan ruangan kamar di situ cukup luas memanjang, dengan panjang sekitar 6 7 meteran).
“Monggo bu”, sambil mempersilahkan ibu klien. Saya tetap duduk di samping temapt tidur klien, sambil memperhatikan si ibu.
Dia berdiri dari duduknya dan menyerahkan tongkatnya ke perawat di sampingnya. Kemudian mulai berjalan perlahan lahan. Perawatnya secara sigap akan menggandeng si ibu, tapi saya memberi kode agar dia tidak usah menggandengnya.
"Ayo bu, tunjukkan kepada saya, bagaimana ibu berjalan tanpa tongkat... yang dulu katanya bisa…monggo"
Si ibu kemudian mulai berjalan sendiri perlahan lahan seperti tertatih tatih tanpa dibimbing perawatnya dan tanpa tongkat ke arah ujung kamar. Begitu dia sampai ujung kamar dekat pintu keluar, saya katakan "Ayo terus bu, perlihatkan kepada saya seperti bagaimana yg dulu katanya ibu bisa jalan biasa …. jauh …. lama"
Si ibu kemudian berbalik arah, kemudian berjalan lagi ... tanpa tongkat... berjalan sampai ujung sebelahnya dekat pintu toilet, lalu saya katakan lagi, "Terus bu, saya ingin tahu juga seberapa lama dulu ibu katanya bisa jalan tanpa tongkat dan tanpa istirahat" .
Si ibu berbalik lagi dan berjalan perlahan lagi ke arah ujung kamar... dan saya ulang lagi mengatakan "Terus bu, saya ingin tahu juga seberapa lama dulu ibu katanya bisa jalan tanpa tongkat dan tanpa istirahat"... seperti itu terus, mondar-mandir sampai sekitar 4 balikkan, lalu saya tanyakan ke si ibu "oh iya, apakah ibu dulu cara berjalannya seperti itu? Pelan pelan sambil tertatih2 atau jalan biasa, lancar gitu bu?"
"Oh, ya enggak mas""Oh ya monggo, tunjukin seperti bagaimana. Kan saya ingin lihat ibu berjalan, persis seperti dulu bu, meskipun gak persis2 amat. Minimal mirip lah"
Kemudian dia merubah posturnya agak lebih tegak, berjalan lebih cepat, dan tertatihnya berkurang.. Demikian, dia berjalan bolak balik lagi sampai ke ujung kamar sambil berulang ulang saya katakan "Terus bu, saya ingin tahu juga seberapa lama dulu ibu katanya bisa jalan tanpa tongkat dan tanpa istirahat"..
Teman saya, Ruly, saling menoleh dengan klien saya tadi sambil menyembunyikan menahan senyum melihat si ibu asik berjalan tanpa keluhan lelah.
Saya juga tersenyum (menahan tawa) melihat situasi itu, ternyata si ibu bisa jalan cukup lama tanpa istirahat dan tertatih dan tanpa tongkat. Saya lihat jam, sudah lebih dari 10 menit dia berjalan mondar-mandir.
Sampai akhirnya lebih dari sepuluh balikan (artinya sdh lebih dari 50 meter), begitu si ibu berjalan di depan saya, tiba-tiba dia menghampiri saya dan mendekap kepala saya, seperti layaknya seorang ibu mendekap kepala anaknya.
"Eh semprul kowe, yo.." sambil tertawa geli.."hahaha... ngerjai wong tuwo (mengerjai orang tua) kih." "Weleh welehh" "hahaha ..." si ibu tiba-tiba tertawa terbahak bahak.
Rupanya dia baru sadar, bahwa dari tadi saya menterapi dia sambil saya kerjain. Tapi terbukti bahwa dia bisa berjalan normal. Dan dia merasakannya sendiri!
Akhirnya kami diruangan itu tertawa semua.
"Hehehe.. ternyata ibu terbukti bisa jalan normal kan.... hebuaat bu", kata saya sambil mengacungkan jempol.
Ibu klien masih tertawa sambil tetap memegang kepala anak saya.
"Wis bu, mulai sekarang ibu sama dengan ibu yg dulu koq, ibu tetap ibu yg bisa jalan dengan normal". "Dan, mulai sekarang sampe seterusnya ibu mampu berjalan dengan normal"
Si ibu masih tertawa, "wah iyo, yo ternyata aku bisa jalan lagi"
“Tadi berapa balikan ya?...Pirang (berapa) menit, yu?” tanyanya mengarah ke perawatnya.
“Sepertinya lebih dari 10 menit, bu”, jawab perawatnya sambil lihat jam.
“Setelah tadi ibu jalan sekian lama, apa rasanya bu?, tanyaku
“Yo, lucu wae..” jawab ibu klien sambil terkekeh.” ... aku mbok apak ne (apa yang kamu lakukan pada ku), mas?
"Nggak saya apa2in bu, ibu yg hebat lho, motivasi ibu sangat tinggi... dan luar biasa .. motivasi ibu lah yg membuat ibu bisa jalan lagi seperti biasanya... ibu hebat… dan itu patut dipertahankan", jawabku sambil kembali mengacungkan jempol.
"Wah, matur suwun lho, mas bikin saya bisa jalan lagi seperti biasanya"
"Terimakasihnya bukan sama saya bu, tapi sama Yang Kuasa, yg membuat ibu bisa jalan lagi seperti biasanya. Bersyhkurlah untuk itu bu"
"Iya...iya.." kata si ibu sambil merasa masih excited karena bisa jalan seperti biasanya. Dia terlihat senang karena bisa berjalan lama.
“Tapi kalau nanti capek lagi, gimana mas?” tanya ibunya.
“Baik. Saya ingin tahu juga, bagaimana ibu koq bisa jalan lama seperti tadi. Apa sih yang ibu pikirkan?”
“Yah.. aku mikir, biyen aku iso mlaku adoh gak nganggo tongkat (dulu saya bisa jalan jauh tanpa tongkat), mosok saiki ra iso (bagaimana sekarang tidak bisa)?”
“Mnopo malih, bu (apalagi, bu)?”
“Yo wis, tak jajal wae.. (ya sudah saya coba saja)..”
“Ternyata bisa ya bu?” potong saya.
“Iya…”
“Setelah bisa, bagaimana rasanya suasana hati ibu?”
“Yo seneng lah…”
“Seperti dulu?”
“Iyo, koyok mbiyen (seperti dulu)”
“Ya sudah bu, begitu saja, ingat dulu bisa jalan jauh karena ibu ingin senang seperti dulu …dan ibu selalu seperti itu… kapanpun juga, dimanapun juga, dalam keadaan apapun juga”
Kemudian kami ngobrol2 lagi sambil tertawa tawa... dan sampai akhirnya pamit, sambil berpesan kepada klien saya, "lakukan terus seperti yg saya ajarin tadi ya, mas"
"Oh, iya," kemudian saya beralih kepada ibunya "sering sering jalan ya bu, caranya seperti tadi, dan ibu tetap sama dengan ibu yg dulu,…. ada oestophorosis, namanya juga umur, tapi semangatnya tetap sama bu. Ibu adalah tetap ibu yg dulu"
"Iyo mas, matur suwun (terimakasih) ya", jawab ibunya.
Seminggu kemudian saya menghubungi klien tersebut, rupanya dia sudah keluar dari rumah sakit dan perbannya sudah dilepas dan sekarang tinggal pemulihan rawat jalan. Waktu saya tanya bagaimana keadaan ibunya, klien mengatakan bahwa ibunya sekarang, seperti yang disampaikan perawatnya, sudah hobi jalan lagi tanpa tongkat dan jeda untuk istrirahatnya jauh lebih lama. Perawatnya tetap menemani, karena anaknya khawatir ibunya ada apa-apa di jalan karena sudah tua.
NSK Nugroho, MCH, CHt
Next > |
---|