“Diam”
Seorang anak sebut saja namanya Rafi, umur 9 tahun, dikeluhkan oleh ibunya bahwa anaknya terlampau aktif dan sulit disuruh diam. Anaknya seperti tidak mengacuhkan ibunya ketika ibunya menyuruhnya diam.
Ketika masuk ruang klinik saya, memang anak tersebut bergerak terus sambil membongkar-bongkar file yang saya letakkan di atas meja, kemudian pindah melihat jendela dan memutar-mutar tuas jendela, sambil mengkhayalkan sesuatu. Kadang naik dan berdiri di kursi lalu loncat dan berpindah ke kursi sebelahnya sambil bersenda gurau sendiri. (Di ruang klinik saya sedikan 4 kursi). Demikian seterusnya. Sementara itu ibunya berkali-kali menyuruhnya untuk diam dan duduk, tetapi anak tersebut tetap bergerak loncat-loncat pindah kursi. Untuk itu saya beri tanda kepada ibunya agar tidak menghentikan perintah agar anak itu diam sementara saya amati anak tersebut.
Saya amati anak itu terus sambil mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikain ibunya. Sambil anak itu berloncatan dari kursi ke kursi saya mencoba untuk berbicara dengan anak itu. Yang tercetus dalam ingatan saya saat itu adalah “pacing” , “pacing”, dan “pacing” seperti yang selalu dikatakan MH Erickson ketika menghadapi orang kritis.
“Bagus mas loncat lagi ke kursi sebelahnya”, saya mengomentari atas apa yang dilakukan anak tersebut ketika dia baru loncat dari kursi sebelahnya. “Sekarang loncat ke kursi sebelahnya lagi..... hup... ya bagus” Begitu terus, saya mengomentari setiap apa yang dikerjakan anak itu. Setelah saya berkalikali mengomentari apa yang dilakukan, kemudian saya mengatakan “Tolong, setelah loncat di kursi terakhir itu, mas ambilkan satu permen di dalam toples di atas meja sebelah sana (sambil saya tunjuk lokasi meja kerja saya) untuk saya ya”.
Dan apa yang aterjadi, dengan sangat luar biasa, anak tersebut mematuhi perintah saya yaitu setelah dia loncat dari kursi terakhir, sambil melihat saya anak itu turun dari kursi dan berjalan menuju meja kerja saya mengambil toples di atas meja tersebut, membukanya, mangambil satu permen..... “mas juga boleh ambil satu koq, ambil saja buat mas” sela saya. Dan anak itu mengambil satu permen.... “Tutup lagi toplesnya ya, mas. Dan taruh di tempat semula” dan luar biasa lagi.... anak itu melakukan sesuai dengan perintah saya. Setelah anak itu menaruh toplesnya, anak itu menyerahkan satu permen kepada saya “Terimakasih ya...” dia tertawa dan membuka permennya serta mengunyahnya.
Setelah itu, saya coba mengatakan “Bagus, mas. Sekarang diam ya, duduk di kursi” kata saya. Apa yang terjadi? Luar biasa, anak itu bergerak lagi dan mulai untuk loncat-loncat di kursi.
Terbesit dalam pikiran saya, mungkin anak ini belum paham definisi “diam”.
“Okay loncat-loncat lagi di kursi, gak apa koq”, lanjut saya, “Sambil loncat-loncatan di kursi, mas ini kesukaannya apa ya? Mungkin suka main game, suka gambar atu senang olah raga, atau mungkin ada idola yang disuka”
Dia tidak merespon apapun, dan masih asyik dengan berloncatan di kursi.
Tiba-tiba ibunya menyela, “Oh, dia kesenangannya main piano”
“Oh, bagus. Rupanya mas Rafi suka main piano ya”, kata saya. Dan anak itu berhenti berloncatan, kemudian melihat saya dan mengangguk.
“Oh bagus. Oo juga suka main piano” sambut saya, “Mari sini yang suka main piano, oom ingin main piano.... Mari, ke sini yang suka main piano turun dulu... sini... sini ...dekat oom”. Dan anak itu turun dari kursi lalu mendekat kepada saya, seperti menunggu apa yang akan saya katakan.
“Oom ingin tahu kamu bisa main piano. Maukah kamu kalau kita main piano-piano an?”, tanya saya, “Kamu suka main piano,khan?”
Dia mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya kepada saya.
“Okay, baik. Sekarang Oom jadi piano, kamu yang main”
“Kamu berdiri di depan saya sini..”, sambil saya menggeser tubuhnya sehingga dia berdiri di hadapan saya (posisi saya duduk).
Kemudian saya menyilangkan tangan saya (bagian kiri menumpu lengan kanan) di depan saya dan mengarahkan ke muka, ke depan anak itu, lalu “Oom jadi piano, dan lengan Oom ini adalah tuts pianonya... kamu mengerti khan?”. Dia mengangguk.
“Baik, sekarang tangan kamu boleh tekan tuts tersebut seolah kamu main piano. Oom ingin tahu bagaimana kamu bermain piano”
Tanpa berkata, anak itu mengarahkan jari-jarinya ke atas tangan saya, seoalh sedang menekan tuts piano.
“Bagus.... Lagu apa yang suka kamu mainkan?”
“Mmmm....”, anak itu mengarahkan bola matanya ke atas, mengingat lagu yang biasa dia mainkan.
“Kamu suka lagu Twinkle Twinkle Littel Star, khan?” ibunya menyela.
“Oo ya? Kamu suka lagu Twinkle Twinkle Little Star? Ah, masak? Sama donk dengan Oom” sambut saya”
“Iya”, jawabnya.
“Okay, mana nih. Lakukan deh sekarang, kamu mainkan lagu Twinkle Twinkle Litttle Star ya.... sambil kamu gerak-gerakkan jari kamu menekan tuts piano....twinkle twinkle little star.... Ayo!”, kata saya sambil menggerakkan kepala saya dengan tersenyum dan tertawa.
Sambil melihat wajah saya anak itu mulai menekannekan jarinya di atas lengan saya seolah bermain piano.
“Ayo, bagus.... twinkle twinkle little star....” saya menyanyikan lagu tersebut.
Anak itu kemudian fokus kepada jari-jarinya yang menari-nari di atas lengan saya. Saya tetap menyanyikan lagu tersebut, “Wah.. hebat... terus”...
Ketika anak itu mulai terlihat benar-benar fokus pada tarian jarinya, saya berkata “Nah bagus piano itu diam seperti Oom.... seperti ini”, saya ulangi lagi, “piano itu diam... seperti ini”, terus saya katakan itu berulang-ulang. Anak itu sesekali memandang saya sambil jarinya terus menari.
“Piano itu diam seperti ini ya mas ini, ini yang namanya diam, ....diam itu seperti ini....yak..... diam itu seperti ini...diam seperti patung... dan patung itu diam....diam seperti ini”
Lalu, tiba-tiba saya menggoyangkan tangan saya, sehingga dia melihat pada saya, lalu segera saya sampaikan, “Nah, yang ini namanya gerak,.... enak gak main piano, kalo piano nya gerak-gerak”, tanya saya kepadanya. Dia belum merespon, saya ulangi lagi pernyataan saya, sambil saya goyangkan tangan saya “Nah.... ini namanya gerak..., main pianonya jadi susah, ya? Mana ada patung yang bergerak....ya khan?” Saya goyangkan tangan saya lagi sambil mengulang kata-kata saya tadi. Akhirnya dia mengangguk. Lalu saya katakan, “Nah makanya diam seperti kamu lihat sekarang.... diam itu seperti ini.....seperti patung... dan patung itu diam ...diam seperti ini.” lanjut saya mengulang-ulang kata-kata ini.
“Kamu ngerti diam, khan? Diam itu seperti ini.....diam seperti patung... patung yang diam.” Dia mengangguk.
“Kamu ingin coba juga jadi piano yang diam, dan om yang main piano?”
Tanpa mengangguk, tiba-tiba dia menaring tangannya lalu menyilangkan tangannya seperti yang saya lakukan seolah dia menjadi piano.
“Siip... kaum sekarang jadi piano yang diam.... dan Oom yang main, ya...” sayapun menekankan jari-jari saya di atas tangannya seolah saya sedang memainkan piano.
“Piano itu diam ya, mas. Seperti ini seperti patung..... seperti mas rasakan sekarang.... ini namanya diam..patung itu diam” kata saya.
“Wah enak, nih karena pianonya diam..... dan diam seperti ini ...seperti patung.... dan diam itu enak ya... asyik juga seperti piano.” Saya katakan hali ini berulang-ulang sambil saya nyanyikan ....twinkle twinkle little star, I wonder what you are.....
Setelah sekitar satu menit, dia terlihat seperti akan bosan, cepat-cepat saya bicara “Bagus, mas. Diam itu seperti piano ya.. seperti patung... yang diam....ya seperti itu namanya diam, bisa khan”, lalu, “boleh sekarang lanjutkan bermain kursi lagi dech...”
Dia bergerak lagi ke arah kursi, dan ketika dia akan naik salah satu kursi, tiba-tiba saya katakan, “Diam dulu, mas”
Apa yang terjadi? Luar biasa, anak itu langsung menghentikan gerakannya alias diam seperti patung, dan berkata “Siap....”
Lalu saya berkata, “Boleh teruskan lagi mainnya .......” dan anak itu melanjutkan aktifitasnya.
Lalu saya menoleh kepada ibunya, dan saya katakan seperti itulah yang terjadi, dan menyampaikan bahwa mungkin anak si ibu belum tahu definisi diam. Lalu kami berbicara bagaiman cara berkomunikasi kepada anaknya. Dan si anak tetap berloncatloncatan di kursi sambil ngomong sendiri mengkhayalkan sesuatu.
Kemudian saya minta ibunya supaya menyuruh anaknya yang sedang berloncatan di kursi itu untuk diam dengan intonasi yang biasa saja.
“Diam, mas” kata ibunya.
Dan luar biasa, anak itupun diam seperti patung, dan berkata “Siap”. Sampai ibunya mengatakan, “Ayo, kita pulang... pamit dulu sama Oom”.
Catatan:
Seperti yang terjadi pada rata-rata pengalaman klinik, kebanyakan orang tua menganggap bahwa anaknya sudah memahami definisi suatu kata.
NSK Nugroho, MCH, CHt
Next > |
---|