Sepertinya saya perlu menjelaskan kembali mengenai informasi yang beredar di masyarakat mengenai hipnotis. Hal ini terjadi karena maraknya lagi pertunjukan hipnosis (hipnosis panggung) di televisi akhir akhir ini. Padahal mengenai hipnosis dan hipnoterapi ini sudah pernah saya jelaskan pada tahun 2005, karena pada saat itu juga sedang marak acara hipnotisme di televisi. Bahkan pada tahun 2007 saya masih ingat ada seseorang menyimpulkan bahwa hipnosis dapat dibagi menjadi dua bagian, hipnosis hitam (hipnosis yang dikonotasikan untuk perbuatan jahat seperti gendam, sihir, guna-guna dan sebagainya) dan hipnosis putih (hipnosis yang dikonotasikan untuk berbuat kebaikan seperti terapi, motivasi dan sebagainya). Lebih jauh lagi, kemudian hipnosis dikaitkan dengan dari mana mereka berasal, hipnosis barat atau hipnosis timur. Dan biasanya hipnosis barat dikaitkan dengan hipnosis putih kemudian hipnosis timur dikaitkan dengan hipnosis hitam.
Kalau kita baca kembali web site saya, saya juga pernah menjelaskan mengenai perbedaan hipnosis dan hipnotis, dimana hipnosis adalah suatu proses, dan hipnotis adalah pelaku hipnosis nya.
Demikian juga pertamakali saya meluncurkan web site saya tahun 2004, sudah saya jelaskan bahwa hipnosis hanyalah suatu proses.
Kemudian hipnosis ini adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh seorang ahli syaraf dari Skotlandia yang menjadi ahli bedah di Manchester, bernama James Braid (1795 - 1860), yaitu terhipnosis adalah suatu respon dan reaksi syaraf seseorang yang SEPERTI tertidur (neuro sleep; sleep bahasa yunani = hypnos) ketika dia terpengaruh atas sesuatu yang menjadi fokusnya (teori monoideaisme dalam bukunya, Neurypnology) atau dengan kata lain kondisi rileks ketika fokus. Dan ketika syaraf ini rileks maka biasanya keadaan emosi orang itupun dalam keadaan tenang. Demikian juga sebaliknya, ketika pikiran kita tenang tenang, tubuh kitapun merasa rileks. h.
Secara teknis sistem kesadaran, keadaan terhipnosis ini disebut juga trans (trance). Jadi sekali lagi, ini hanya suatu istilah mengenai suatu keadaan diri manusia saja. Memang, dalam keadaan tenang ini orang biasanya akan lebih mudah terpengaruh atau tersugesti oleh informasi dari sekelilingnya. Ibarat orang yang sedang menghafalkan suatu pelajaran, maka hafalannya akan lebih mudah masuk apabila pikirannya sedang tenang atau rileks. Oleh karena itu pada awal mula perkembangannya (saya menyebutnya sebagai konvensional), orientasi hipnosis adalah orang dibuat rileks (emosinya “rendah”) atau trans terlebih dahulu sebelum diberikan sugesti. Mereka beranggapan bahwa semakin dalam trance seseorang, berarti semakin mudah dia disugesti. Sugesti yang disampaikan setelah proses hipnosis dapat bervariasi tergantung apa yang ingin didapatkan dari proses hipnosis tersebut, mulai dari sugesti untuk keperluan hiburan sampai dengan sugesti untuk keperluan terapi. Dan pada saat itu, jika subjek (orang yang dihipnosis) dapat melaksanakan apa yang disugestikan oleh penghipnotisnya maka penghipnotisnya dikatakan hebat. Setelah melalui beberapa eksperimen yang dilakukan para ahli, perkembangan hipnosis bukan lagi sekedar berorientasi pada membuat orang rileks supaya dapat disugesti, tetapi bagaimana caranya agar sugesti dapat tersampaikan secara tepat kepada subjek sehingga subjek dapat terhipnosis. Hal ini terjadi, banyak para ahli yang tidak seluruhnya berhasil dalam membuat orang rileks atau terhipnosis dalam percobaan-percobaan yang mereka lakukan, termasuk Freud (1856 – 1939) yang dikenal sebagai bapak psikoanalisa pernah gagal dalam melakukan hipnosis. Kemudian Freud mendapatkan bahwa proses terapi juga bisa dilakukan hanya dengan menerapkan “talking cure” (menerapi seorang pasien tanpa melalui proses membuat orang rileks terlebih dahulu) seperti yang dilakukan Josef Breuer (1842-1925). Akhirnya para ahli berpikir lebih maju. Orientasi hipnoterapi bukan lagi hanya membuat orang rileks, tetapi bagaimana agar sugesti terapis dapat sampai secara efektif kepada pasien agar masalah psikologis klien dapat diselesaikan. Hipnosis adalah hanya medianya saja. Namun kenyataannya, tidak semua orang dapat disugesti dengan mudah.
Pada awal abad 19 ada seorang psikoterapis bernama Milton H. Erickson (1901-1980), melalui eksperimen-eksperimennya dia menyimpulkan bahwa kendali proses hipnosis bukan pada penghipnotisnya (seperti konsep yang berkembang pada awal mula konsep hipnosis dicetuskan) tetapi ada pada subjeknya. Artinya si klienlah yang dapat menyelesaikan masalah dirinya dengan caranya sendiri. Tugas seorang hipnoterapis adalah membangkitkan potensi yang ada dalam kliennya agar klien mampu mengatasi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Tentunya, potensi tiap orang tidak sama, oleh karena itu Erickson mengatakan bahwa tiap orang adalah unik. Dan salah satu gaya yang menjadi favorit Erickson adalah memberikan sugesti terapi tanpa perlu membuat orang rileks terlebih dahulu dengan formal seperti yang dilakukan pada awal perkembangan hipnosis. Bahkan dalam keadaan emosi “tinggi” (misalnya marah atau tertawa tergelak) pun orang dapat disugesti dengan mudah.
Saya sudah sering membuktikannya dalam sesi hipnoterapi yang saya lakukan, misalnya seseorang yang mengalami ketakutan luar biasa dapat diselesaikan masalahnya sehingga orang tersebut dapat mengendalikan rasa takutnya. Bahkan salah seorang peserta pelatihan hipnoterapi saya pernah melakukan hipnoterapi pada orang yang sedang marah-marah, dimana orang tersebut dalam waktu 15 menit langsung menangis sesunggukan.
Dengan apa yang dilakukan Erickson ini, maka definisi hipnosis bukan lagi hanya sekedar “neuro sleep” seperti di atas, tetapi sudah berkembang lebih luas menjadi suatu keadaan kesadaran manusia dimana dia sangat peka terhadap suatu sugesti. Seperti yang didefinisikan oleh British Medical Association (1955) sebagai suatu keadaan perhatian seseorang yang teralihkan akibat sugesti seseorang dan suatu fenomena yang secara spontan muncul dalam merespon suatu verbal atau stimulan lainnya. Fenomena ini termasuk teralihnya (teralterasi) suatu kesadaran dan memori, serta meningkatnya kerentanan terhadap saran.
Dengan definisi ini, mudahnya seseorang menerima sugesti bukan lagi hanya tergantung pada keadaan emosi “rendah” (misal tenang, rileks, santai, dsb) seperti di atas, dalam keadeaan emosi “tinggi” pun bisa, tetapi lebih utama ditentukan oleh keadaan kesadaran (mind state) dari seseorang. Misalkan seorang remaja sedang berjingkrak-jingrak histeris ketika sedang menonton band rock pujaannya, mungkin dia tidak akan merasa sakit ketika kakinya terinjak. Hal ini dapat dikatakan bahwa dia sedang terhipnosis oleh bintang pujaannya dimana kesadaran pikirannya teralihkan dari suasana sekeliling dan hanya tertuju pada bintang pujaannya.
Yang menjadi perhatian saya adalah bukan bagaimana perhatian seseorang dapat tertuju atau diarahkan pada sesuatu yang dia sukai atau tidak, tetapi apa yang membuat kesadarannya tertuju atau terarahkan pada hal tersebut?
Apa yang membuat perhatian kesadarannya tertuju pada hal tersebut, saya istilahkan sebagai Sistem Nilai. Dimana sistem nilai inilah sumber penggerak atau referensi semua tindakan, perilaku dan progam respon kita terhadap suatu stimulan termasuk tingkat dan jenis emosi kita.
Sistem Nilai ini terletak di bawah sadar sistem kesadaran kita (catatan: bukan alam bawah sadar seperti yang dikatakan orang, karena tidak ada yang namanya alam bawah sadar, yang ada adalah bawah sadar dan ini diterjemahkan dari bahasa Inggris, sub-conscious, dimana sub = bawah dan conscious = sadar) dimana kita tidak memikirkannya atau menyadarinya secara langsung. Dan ketika sedang berada di bawah pengaruh kesadaran bawah sadar ini bukan berarti kita tidak sadar atau pingsan, atau tidur terlelap, tetapi kita tetap sadar tetapi tidak begitu menyadari keadaan sekeliling kita. Atau istilah sekarang kita menyebutnya “gak ngeh” atau “gak nyadar”. Seperti misalnya ketika sedang melamunkan hutang-hutang yang menumpuk sampai-sampai kita “gak nyadar” kalau teman di sebelah kita sedang mengajak kita berbicara. Atau ketika kita sedang asyik mengamati sepatu yang sangat kita suka di suatu toko sampai sampai “gak ngeh” bahwa kita sedang menginjak kaki orang lain. Kita berada di sini, tapi pikiran kesadaran kita tidak di di sini. Anda sedang membaca tulisan ini, tapi pikiran anda tidak pada tulisan ini. Saya mengatakan keadaan tersebut sebagai sesuatu yang tidak langsung disadari (sadar tidak langsung), dimana kita baru menyadari keadaan sekeliling kita kalau kita sendiri sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang menjadi pusat perhatian kita, misalnya merasa cukup (atau merasa malas) untuk memikirkannya atau ada intervensi lain yang lebih menarik perhatian kita.
Mengapa dan bagaimana kita bisa tertarik dan bagaimana kita bisa terlarut dalam pikiran kita kemudian berhenti dari ketertarikan itu? Hal itu sangat tergantung pada Sistem Nilai yang kita miliki dalam menghadapi hal yang membuat tertarik tersebut. Misalnya Sistem Nilai kita adalah selalu tergila-gila pada sanjungan. Ketika seorang penjual sepatu menyanjung kita seperti yang kita suka supaya kita membeli sepatunya, kita langsung melamunkan atau membayangkan atau merasakan bangganya ketika diri kita sedang disanjung orang lain, maka sudah masuk perangkap hipnosis yang dibuat oleh diri sendiri. Tindakan kita selanjutnya mungkin jadi seperti tidak logis menurut pandangan orang lain, yaitu membeli sepatu tersebut yang mungkin harganya terlalu tinggi untuk sepatu dengan model seperti itu. Bahkan mungkin meskipun pasangan kita memberi tahu bahwa sepatu tersebut terlalu mahal dan tidak logis membelinya apalagi kemarin baru membelinya, kita seolah mengabaikan nasihat teman tersebut (mengabaikan keadaan sekeliling) dan tetap membeli sepatu tersebut (sesuai dengan sistem nilai yang kita miliki). Berikutnya, setelah membeli, tergantung lagi dengan bagaimana Sistem Nilai kita sendiri. Misalkan setelah kita memakai sepatu tersebut ternyata pandangan orang lain biasa-biasa saja (tidak ada satupun yang menyanjung bahkan bungkin malah mengejeknya) kita mulai berpikir dan mungkin baru menyadari bahwa sepatu yang kita beli tidak ada gunanya. Akhirnya kita kesal, menyalahkan orang lain, merasa ditipu oleh si penjual sepatu (atau dengan mudahnya kita akan mengatakan bahwa kita dihipnotis oleh si penjual sepatu).
Suatu Sistem Nilai terbentuk dari hasil interaksi manusia dengan lingkungannya sejak dia memiliki nyawa dalam kandungan, baik secara langsung dia alami sendiri atau tidak langsung dari pengalaman orang lain. Dapat juga karena pengaruh nilai-nilai tertentu di masyarakat sekelilingnya sehingga dalam dirinya tertanam dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Sistem nilai yang inilah yang akan muncul secara spontan (sampai 3 – 6 detik pertama) atau refleks ketika kita merespons suatu stimulan. Apalagi jika stimulan tersebut sesuai dengan sistem-sistem nilai yang kita miliki, maka akan respon spontannya akan lebih lama sehingga kita seolah terjebak dalam stimulan tersebut. Seperti contoh membeli sepatu di atas jika kita belum menyadari bahwa orang-orang tidak menyanjung kita, maka kita masih tetap mengatakan bahwa kita telah membeli sepatu yang tepat.
Salah satu kisah nyata dari pengalaman klinik. Di permukaan, secara sadar, seorang klien mengatakan tidak ada apa-apa dengan ayahnya, dan dia merasa biasa saja dengan perlakuan kasar ayahnya. Tetapi, di bawah sadarnya berbeda. Setelah melalui hipnoterapi didapatkan bahwa sistem nilai orang tersebut adalah “takut pada orang kasar” dan program responnya adalah “selalu patuh pada orang yang ditakuti tersebut”. Sistem Nilai di bawah sadar ini mungkin terbentuk akibat suatu peristiwa sewaktu dia masih kecil, dimana saat itu ayah si klien marah dan kasar kepadanya sehingga dia takut tetapi dia harus mematuhi perintah ayahnya. Meskipun peristiwa itu sudah selesai tapi pengalaman itu tetap membekas (ter imprint) di bawah sadar klien dan dia tidak pernah tahu harus bagaimana selain hanya takut dan patuh jika menghadapi situasi yang sama dengan peristiwa tadi. Lalu apa yang terjadi ketika dia dewasa? Dia ditelpon seseorang yang belum dia kenal dengan gaya yang kasar (klien baru menyadari bahwa ternyata suara orang tersebut mirip seperti waktu ayahnya marah kepadanya waktu dia kecil tadi), dan orang yang telpon tadi memerintahkan dia untuk segera ke ATM dan mentransfer sejumlah uang dari rekeningnya ke rekening orang yang menelpon tadi. Dan persis, seperti kejadian waktu dia masih kecil, dia takut dan dia patuh melaksanakan perintah orang yang menelpon itu. Setelah semua itu terjadi, klien baru menyadari bahwa tabungannya selama hampir 1 tahun telah terkuras habis, sehingga dia sering melamun, malas berbicara, dan makanpun tidak berselera.
Untuk orang lain yang hanya melihat fenomena yang terjadi dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, tentu berpendapat bahwa klien telah kena gendam lewat telepon dan merasa bahwa klien telah kemasukan jin karena tidak mau bicara, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mau makan dan sebagainya.
Fenomena terakhir inilah yang disampaikan majikan klien kepada saya ketika dia menghubungi saya. Klien adalah seorang pembantu rumah tangga, uang di ATM itu sudah dia persiapkan untuk oleh-oleh orang tuanya di kampung.
Reaksi klien di atas adalah reaksi spontan karena informasi yang diterimanya sesuai dengan sistem nilai yang sudah terbentuk pada dirinya, yaitu “begitu takut dengan orang yang kasar, maka patuhilah perintahnya”.
Masih banyak lagi contoh pengalaman klinik seperti di atas dan bukan hanya dengan gaya “keras” seperti di atas, dengan gaya “halus” pun ada dimana si penipu bergaya seolah seorang ustad yang memiliki pesantren dan membutuhkan uang. Modusnya sama seperti di atas, hanya dengan gaya rayuan yang membuat orang yang ditipu itu merasa kasihan. Dan begitu semua uang di ATM diberikan kepada di penipu, penipu langsung kabur dengan berpura-pura akan mengambil kuitansi di temannya. Dan setelah dilakukan interiew pada sesi hipnoterapi, orang yang tertipu tadi hanya tertanam sistem nilai “Selalu lah takut dan patuh kepada seorang ustad”. Sistem Nilai ini sebenarnya bagus, hanya menurut saya masih kurang. Dia menganggap ustad di kota sama dengan ustad-ustad yang dikenal di kampungnya yang semuanya baik-baik. Kurangnya adalah dia perlu pembekalan juga bahwa di kota banyak penipu bergaya ustad.
Selain itu ada yang gayanya seolah-olah teman lama dengan cara menepuk pundak, sehingga orang yang ditepuk terkejut. Dan ketika terkejut si penipu langsung mengajak bicara seolah teman lama. Jika yang ditepuk tadi secara spontan merasa “cocok” dengan gaya si penepuk, maka dia sudah terperangkap dalam pengaruh hipnosis si penepuk. Dan selanjutnya tergantung bagaimana perbincangan yang terjadi. Seandainya orang yang ditepuk tadi merasa tidak kenal dengan orang yang menepuknya dan malas untuk berbicara dengannya atau malah mencemooh dalam hati kepada penepuknya,seperti mengatakan dalam hati “Siapa sih orang sok tahu ini, ngapain harus ngeladenin dia” maka proses hipnosis terhenti dan putus. Dan akhirnya dia keluar dari perangkap hipnosis si penepuk secara otomatis.
Berbeda kalau orang yang ditepuk tadi merasa terus “cocok” dengan si penepuk yang baru dikenalnya. Kecocokan ini dapat berarti dia suka dengan yang menepuknya atau kasihan atau mungkin malahan merasa takut sehingga takluk, akibatnya orang tersebut mau dan percaya saja atas omongan si penepuk dan mungkin akan selalu patuh mengikuti apa yang dimau si penepuk tersebut meskipun orang lain mengatakan selalu mematuhi yang diperintahkan si penepuk adalah tidak logis.
Ini dapat disamakan dengan cinta buta, misalkan ketika seorang pria menyukai seseorang wanita dengan sangat luar biasa meskipun orang lain mengatakan bahwa wanita itu jahat, penipu, dan sebagainya. Kita dapat memastikan bahwa si pria, selama dia mampu, akan selalu memenuhi apa yang diminta wanita tersebut, bahkan mungkin permintaan yang menurut kita tidak logis. Ya, si pria telah terhipnosis oleh si wanita. Mengapa bisa terhipnosis? Banyak orang mengatakan bahwa si wanita mempunyai ilmu pelet. Menurut saya, mengapa pria itu bisa tertarik dengan wanita tersebut, adalah karena sistem nilai yang dimiliki si pria sendiri (yang terbentuknya seperti telah dijelaskan di atas) yang cocok dengan kelakuan si wanita tadi. Jadi sekali lagi berkaitan dengan sistem nilai yang dimiliki orang yang dipengaruhi (dihipnosis).
Ada suatu hal yang menarik dari pengalaman klinik, dalam kasus seorang klien wanita yang nyaris diperkosa oleh temannya sendiri. Dia datang ke klinik dengan diantarkan orang tuanya. Orang tuanya mengatakan bahwa setelah setelah nyaris diperkosa anaknya sering berteriak-teriak, dan berlaku seolah menjadi orang lain (temannya yang nyaris menyetubuhinya), atau dengan kata lain, orang tuanya mengatakan bahwa dia kesurupan. Ketika ke klinik saya, tingkah lakunya memang seperti itu, berteriak-teriak dan berlaku seolah orang lain. Setelah melalui sesi hipnoterapi yang biasa saya lakukan (tentunya dengan cara terapi yang tepat yang seperti biasa saya lakukan pada klien-klien yang mengalami masalah mental block) akhirnya dia bisa tenang dan bisa berbicara dengan saya seperti orang biasa. Ceritanya dia merasa disihir atau dipelet sehingga dia patuh pada apa saja yang diminta temannya. Dia sempat sampai dengan telanjang, namun orang tuanya memergokinya ketika nyaris terjadi hubungan badan. Akhirnya temannya kabur pergi, dan tinggallah dia yang didamprat habis-habisan oleh orang tuanya. Dan setelah itulah dia menjadi seolah kesurupan. Beberapa hari kemudian setelah selesai sesi hipnoterapi, di suatu jaringan sosial media dia meminta meng “invite” saya untuk menjadi “friend” dan saya “approve”. Dan ketika saya jelajah sosial medianya, memang tidak heran, ternyata dia memang senang dengan dandanan yang seronok, dan mungkin sistem nilai yang dia miliki adalah tidak merasa risih meskipun dia harus bertelanjang di depan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Dia merasa terbiasa dengan hal yang demikian. Jadi, normal saja ketika dia diminta temannya sampai telanjang, dia merasa biasa-biasa saja. Sayapun memutuskan “friend” dengan dia, karena foto-fotonya sangat “provokatif”.
Berikutnya ada seorang wanita, yang terlihat sangat saleh tetapi dia diperkosa dan katanya dia dihipnosis. Setelah ditelaah dalam sesi hipnoterapi memang sistem nilai wanita itu pada saat itu adalah memang ingin segera/ kebelet menikah karena desakan orang-orang terdekatnya. Dan yang sebenarnya terjadi adalah wanita itu “termakan omongan” si pemerkosa bahwa dia akan segera dinikahi oleh si pria setelah dia mau berhubungan badan dengan dia. Setelah semua terjadi, si pria itu kabur entah kemana. Ya, ini lebih tepat dikatakan sebagai penipuan.
Kembali kepada pernyataan awal dalam tulisan ini, ada yang disebut sebagai hipnosis barat atau hipnosis timur, kedua duanya adalah sama-sama hipnosis. Secara prinsip psikologis atau esensinya, proses yang terjadi pada keduanya sebenarnya juga sama. Yang membedakannya di sini hanya dari caranya saja atau ritualnya saja. Biasanya saya menyebutkannya sebagai metodanya saja yang berbeda-beda. Dan di dunia ini ada ribuan metoda. Metoda atau ritual atau cara yang digunakan yang sangat tergantung pada sistem nilai yang ada dan berlaku pada masyarakatnya, seperti di suku Indian menggunakan tari-tarian dan mantera ketika seorang pemuka agama mengobati anggota sukunya yang sakit. Bahkan meditasi maupun berdoa dapat dikatakan sebahai salah satu metoda hipnosis. Ingat, Hipnosis hanyalah suatu istilah saja!
Mungkin sistem nilai di Indonesia pada umumnya sangat percaya dengan klenik, maka proses hipnosis dikait-kaitkan dengan hal-hal yang bersifat misterius dan klenik seperti roh, hantu, jin, tuyul dan sebagainya. Tentunya sistem nilai ini berbeda dengan di dunia barat dimana mereka tidak percaya dengan adanya tuyul, dan sebagainya, sehingga tentunya tidak mudah bagi mereka untuk mempercayainya. Akibatnya ketika mereka ditakut-takuti dengan jin atau hantu “buatan Indonesia” mereka tidak terhipnosis atau tidak terpengaruh seperti yang pernah terjadi di acara salah satu stasiun televisi
Hal ini bukan berarti saya tidak percaya dengan apa yang gaib. Saya sangat percaya dengan yang gaib, tetapi kita jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa hipnosis dikait-kait kaitkan dengan magick, sihir, jin atau apapun. Dan berdasarkan pengalaman saya sebagai hipnoterapis, dari puluhan klien yang datang yang mengeluhkan bahwa mereka telah digendam, telah disihir, bahkan telah diguna-guna atau disantet sehingga mereka seperti melihat ada jin atau tuyul di sebelahnya, merasa ada makhluk halus dalam dirinya, bahkan sampai yang kata orang sudah kesurupan dan sebagainya, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan dugaan mereka. Mereka lebih cenderung memiliki masalah psikologis atau mental block. Dan memang ada yang dengan hipnoterapi tidak bisa diselesaikan, yaitu orang-orang yang secara kejiwaannya disebabkan karena penyakit medis seperti schyzophrenia, autis atau ADHD (dan memang inipun setelah melalu seorang dokter atau psikiater). Memang tingkah laku mereka sangat dipengaruhi keadaan fisik meraka, bahkan mereka sering berhalusinasi baik seperti melihat orang lain maupun seolah mendengar sesuatu. Tingkah laku seperti ini pun terjadi dan sangat mirip pada orang narkoba yang sedang sakaw (sakit karena putaw) atau ketagihan yang mana penyembuhannya pun harus melalui penanganan secara medis seperti detoksifikasi.
Keadaan ini dapat kita ibaratkan ketika kita dalam keadaan sakit panas tinggi, maka kita akan lebih sensitif terhadap segala sesuatu, kitapun mungkin akan berhalusinasi, hanya mendengar dentingan suara sendok jatuhpun dapat membuat kita sangat terganggu dan marah, dan sebagainya.
Demikian juga dengan istilah “kesurupan”. Sekali lagi, jangan terburu-buru menghakiminya. Keadaan ini saya ibaratkan seperti seorang anak kecil yang senang mengkhayal menjadi seorang superhero atau sesuatu yang hebat. Saya sering menghadapi anak kecil yang ketika dia terdesak (misalnya karena kita ajak berkelahi-kelahian) maka dia langsung membuat dirinya seolah-olah seorang superhero kebanggaannya, bahkan cara bicara dan tindak tanduknya pun dimirip-miripkan, dengan tujuan agar membuat kita merasa takut. Hal ini persis seperti kasus kesurupan yang pernah saya tangani, dimana anak tersebut (usia 13 tahun) berlaku seolah-olah dia sebagai Prabu Siliwangi dan kadang-kadang menjadi seekor macan Terus terang saya heran mengapa dalam kasus-kasus kesurupan selalu saja menjadi tokoh yang diidolakan. Tidak ada yang kesurupan menjadi seekor elang. Kalau dia kesurupan menjadi elang, seharusnya dia bisa terbang juga). Dengan pendekatan hipnoterapi yang sederhana anak itu langsung berhenti dari kesurupannya. Setelah saya telaah apa yang terjadi, ternyata anak tersebut mengalami tekanan mental karena dia merasa sangat tegang dan ketakutan akan menghadapi ujian nasional dimana dia merasa dirinya belum siap.
Keadaan seperti ini sering terjadi. Salah seorang kawan yang memiliki pabrik dimana lebih banyak karyawatinya, mengatakan bahwa kesurupan ini sering terjadi ketika beban kerja di pabriknya sangat tinggi. Dan memang lebih sering terjadi pada wanita, karena seperti yang pernah disampaikan oleh H. Dr. Dadang Hawari kondisi fisik wanita lebih lemah daripada lelaki.
Kemudian ada pertanyaan, mengapa menular? Seperti kejadian kesurupan masal. Proses penularan itu terjadi seperti halnya ketika dalam suatu acara pertemuan dengan banyak orang, bila satu orang bertepuk tangan maka yang lainnya yang terpengaruh untuk ikut-ikutan bertepuk tangan. Bahkan, orang yang tidak tahu apa yang terjadipun bisa ikut-ikutan tepuk tangan. Dalam hipnosis, hal ini diistilahkan dengan terinduksi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menghipnosis adalah hanya suatu cara atau “tools” yang digunakan dalam menyampaikan pesan agar efektif (menghasilkan efek). Tidak peduli apakah efeknya mengikuti atau melawan pesan yang disampaikan. Dalam pelatihan hipnoterapi moderen juga diajarkan bagaimana agar orang seolah melawan pesan yang kita sampaikan, tetapi sebenarnya dia justru sedang mengikuti apa yang kita mau. Memang benar orang mengatakan bahwa hipnosis itu ibarat pisau, bisa digunakan untuk merajang sayuran atau bisa juga digunakan untuk membunuh. Tetapi, berbeda dengan pisau (bahwa pisau tersebut dapat digunakan menjadi apa tergantung pada si pemegang pisaunya), dalam hipnosis hal yaitu tidak berlaku karena sugesti apapun yang disampaikan, sangat tergantung pada sistem nilai orang yang dihipnosis apakah sistem nilainya mengikuti (mengijinkan) sugesti atau pesan yang disampaikan atau tidak.
Pada prinsipnya kita pasti selalu terhipnosis (Setiap waktu kita selalu trans atau terhypnosis seperti yang dikatakan Steven Heller), dan tergantung sistem nilai kita apakah kita mengikuti atau menolak pengaruhnya. Sehingga pembentukan sistem nilai ini menjadi krusial, baik itu sistem nilai dalam keluarga atau masyarakat. Sistem nilai yang terbentuk inilah yang nanti menjadi referensi atas sikap, tindakan dan perilaku seseorang.
Dalam kesehariannya Sistem Nilai ini tidak bisa kita hakimi sebagai bagus atau jelek, benar atau salah, logis atau tidak, baik atau buruk, dan sebagainya. Karena bisa saja sesuatu yang dikatakan orang lain sebagai tidak logis, tetapi bisa saja logis menurut ukuran kita. Atau baik menurut kita, tetapi buruk menurut orang lain. Demikian juga, yang kita gunakan dalam menghakimi Sistem Nilai orang lain (benar salah, baik buruk, dan sebagainya) adalah berdasarkan acuan Sistem Nilai yang kita miliki. Seorang hipnoterapis tidak ikut campur dalam soal Sistem Nilai yang dimiliki klien. Maksudnya, selama dia merasa nyaman dengan Sistem Nilainya, seorang hipnoterapis tidak bisa ikut campur. Kecuali dia merasa tidak nyaman dengan Sistem Nilainya dan dia berniat untuk mengendalikan Sistem Nilainya; di sinilah seorang hipnoterapis dapat membantunya. Mengenai bagaimanakah agar seseorang memiliki Sistem Nilai yang benar, hal ini sudah di luar domain seorang hipnoterapis. Yang menentukan, tentulah orang-orang yang lebih berkompeten untuk ini, seperti pemuka agama, orang tua, direktur suatu perusahaan, dokter dan sebagainya tergantung konteksnya dimana Sistem Nilai itu berada. Seperti dalam perusahaan, tentunya yang lebih berkompeten menentukan Sistem Nilai yang benar di perusahaan itu adalah Direksinya yang diwaliki oleh bagian HRD nya. Sedangkan mengenai Sistem Nilai yang benar dalam beribadah, yang lebih kompeten tentunya seorang pemuka agama, karena dia akan menjelaskan dengan dalil-dalilnya. Dan sebagainya.
Pembentukan sistem nilai tersebut dimulai dari usia dini. Anak menjadi seperti apa nanti, sangatlah tergantung pada sistem nilai yang terbentuk pada saat pertumbuhannya baik hasil interensi lingkungan maupun keluarganya. Seperti contoh anak yang kesurupan Prabu Siliwangi di atas, seandainya anak Sistem Nilai yang dimiliki anak adadalh selalu tangguh dan berdoa setiap ada tekanan, mungkin dia tidak akan kesurupan. Berdasarkan pengalaman saya sebagai hipnoterapis kepada ribuan klien, lebih dari 80% permasalahan atau hambatan mental seorang klien terjadi karena krisis dalam pembentukan sistem nilai pada masa anak-anaknya. Karena memang pada dasarnya suatu perilaku sekarang bukanlah muncul mendadak begitu saja, tetapi selalu ada penyebab dan dibentuk atau terbentuk sejak usia dini.
NSK Nugroho MCH, CHt,
Professional Hypnotherapist sejak tahun 2002
Secara teknis sistem kesadaran, keadaan terhipnosis ini disebut juga trans (trance). Jadi sekali lagi, ini hanya suatu istilah mengenai suatu keadaan diri manusia saja. Memang, dalam keadaan tenang ini orang biasanya akan lebih mudah terpengaruh atau tersugesti oleh informasi dari sekelilingnya. Ibarat orang yang sedang menghafalkan suatu pelajaran, maka hafalannya akan lebih mudah masuk apabila pikirannya sedang tenang atau rileks. Oleh karena itu pada awal mula perkembangannya (saya menyebutnya sebagai konvensional), orientasi hipnosis adalah orang dibuat rileks (emosinya “rendah”) atau trans terlebih dahulu sebelum diberikan sugesti. Mereka beranggapan bahwa semakin dalam trance seseorang, berarti semakin mudah dia disugesti. Sugesti yang disampaikan setelah proses hipnosis dapat bervariasi tergantung apa yang ingin didapatkan dari proses hipnosis tersebut, mulai dari sugesti untuk keperluan hiburan sampai dengan sugesti untuk keperluan terapi. Dan pada saat itu, jika subjek (orang yang dihipnosis) dapat melaksanakan apa yang disugestikan oleh penghipnotisnya maka penghipnotisnya dikatakan hebat. Setelah melalui beberapa eksperimen yang dilakukan para ahli, perkembangan hipnosis bukan lagi sekedar berorientasi pada membuat orang rileks supaya dapat disugesti, tetapi bagaimana caranya agar sugesti dapat tersampaikan secara tepat kepada subjek sehingga subjek dapat terhipnosis. Hal ini terjadi, banyak para ahli yang tidak seluruhnya berhasil dalam membuat orang rileks atau terhipnosis dalam percobaan-percobaan yang mereka lakukan, termasuk Freud (1856 – 1939) yang dikenal sebagai bapak psikoanalisa pernah gagal dalam melakukan hipnosis. Kemudian Freud mendapatkan bahwa proses terapi juga bisa dilakukan hanya dengan menerapkan “talking cure” (menerapi seorang pasien tanpa melalui proses membuat orang rileks terlebih dahulu) seperti yang dilakukan Josef Breuer (1842-1925). Akhirnya para ahli berpikir lebih maju. Orientasi hipnoterapi bukan lagi hanya membuat orang rileks, tetapi bagaimana agar sugesti terapis dapat sampai secara efektif kepada pasien agar masalah psikologis klien dapat diselesaikan. Hipnosis adalah hanya medianya saja. Namun kenyataannya, tidak semua orang dapat disugesti dengan mudah.
Pada awal abad 19 ada seorang psikoterapis bernama Milton H. Erickson (1901-1980), melalui eksperimen-eksperimennya dia menyimpulkan bahwa kendali proses hipnosis bukan pada penghipnotisnya (seperti konsep yang berkembang pada awal mula konsep hipnosis dicetuskan) tetapi ada pada subjeknya. Artinya si klienlah yang dapat menyelesaikan masalah dirinya dengan caranya sendiri. Tugas seorang hipnoterapis adalah membangkitkan potensi yang ada dalam kliennya agar klien mampu mengatasi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Tentunya, potensi tiap orang tidak sama, oleh karena itu Erickson mengatakan bahwa tiap orang adalah unik. Dan salah satu gaya yang menjadi favorit Erickson adalah memberikan sugesti terapi tanpa perlu membuat orang rileks terlebih dahulu dengan formal seperti yang dilakukan pada awal perkembangan hipnosis. Bahkan dalam keadaan emosi “tinggi” (misalnya marah atau tertawa tergelak) pun orang dapat disugesti dengan mudah.
Saya sudah sering membuktikannya dalam sesi hipnoterapi yang saya lakukan, misalnya seseorang yang mengalami ketakutan luar biasa dapat diselesaikan masalahnya sehingga orang tersebut dapat mengendalikan rasa takutnya. Bahkan salah seorang peserta pelatihan hipnoterapi saya pernah melakukan hipnoterapi pada orang yang sedang marah-marah, dimana orang tersebut dalam waktu 15 menit langsung menangis sesunggukan.
Dengan apa yang dilakukan Erickson ini, maka definisi hipnosis bukan lagi hanya sekedar “neuro sleep” seperti di atas, tetapi sudah berkembang lebih luas menjadi suatu keadaan kesadaran manusia dimana dia sangat peka terhadap suatu sugesti. Seperti yang didefinisikan oleh British Medical Association (1955) sebagai suatu keadaan perhatian seseorang yang teralihkan akibat sugesti seseorang dan suatu fenomena yang secara spontan muncul dalam merespon suatu verbal atau stimulan lainnya. Fenomena ini termasuk teralihnya (teralterasi) suatu kesadaran dan memori, serta meningkatnya kerentanan terhadap saran.
Dengan definisi ini, mudahnya seseorang menerima sugesti bukan lagi hanya tergantung pada keadaan emosi “rendah” (misal tenang, rileks, santai, dsb) seperti di atas, dalam keadeaan emosi “tinggi” pun bisa, tetapi lebih utama ditentukan oleh keadaan kesadaran (mind state) dari seseorang. Misalkan seorang remaja sedang berjingkrak-jingrak histeris ketika sedang menonton band rock pujaannya, mungkin dia tidak akan merasa sakit ketika kakinya terinjak. Hal ini dapat dikatakan bahwa dia sedang terhipnosis oleh bintang pujaannya dimana kesadaran pikirannya teralihkan dari suasana sekeliling dan hanya tertuju pada bintang pujaannya.
Yang menjadi perhatian saya adalah bukan bagaimana perhatian seseorang dapat tertuju atau diarahkan pada sesuatu yang dia sukai atau tidak, tetapi apa yang membuat kesadarannya tertuju atau terarahkan pada hal tersebut?
Apa yang membuat perhatian kesadarannya tertuju pada hal tersebut, saya istilahkan sebagai Sistem Nilai. Dimana sistem nilai inilah sumber penggerak atau referensi semua tindakan, perilaku dan progam respon kita terhadap suatu stimulan termasuk tingkat dan jenis emosi kita.
Sistem Nilai ini terletak di bawah sadar sistem kesadaran kita (catatan: bukan alam bawah sadar seperti yang dikatakan orang, karena tidak ada yang namanya alam bawah sadar, yang ada adalah bawah sadar dan ini diterjemahkan dari bahasa Inggris, sub-conscious, dimana sub = bawah dan conscious = sadar) dimana kita tidak memikirkannya atau menyadarinya secara langsung. Dan ketika sedang berada di bawah pengaruh kesadaran bawah sadar ini bukan berarti kita tidak sadar atau pingsan, atau tidur terlelap, tetapi kita tetap sadar tetapi tidak begitu menyadari keadaan sekeliling kita. Atau istilah sekarang kita menyebutnya “gak ngeh” atau “gak nyadar”. Seperti misalnya ketika sedang melamunkan hutang-hutang yang menumpuk sampai-sampai kita “gak nyadar” kalau teman di sebelah kita sedang mengajak kita berbicara. Atau ketika kita sedang asyik mengamati sepatu yang sangat kita suka di suatu toko sampai sampai “gak ngeh” bahwa kita sedang menginjak kaki orang lain. Kita berada di sini, tapi pikiran kesadaran kita tidak di di sini. Anda sedang membaca tulisan ini, tapi pikiran anda tidak pada tulisan ini. Saya mengatakan keadaan tersebut sebagai sesuatu yang tidak langsung disadari (sadar tidak langsung), dimana kita baru menyadari keadaan sekeliling kita kalau kita sendiri sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang menjadi pusat perhatian kita, misalnya merasa cukup (atau merasa malas) untuk memikirkannya atau ada intervensi lain yang lebih menarik perhatian kita.
Mengapa dan bagaimana kita bisa tertarik dan bagaimana kita bisa terlarut dalam pikiran kita kemudian berhenti dari ketertarikan itu? Hal itu sangat tergantung pada Sistem Nilai yang kita miliki dalam menghadapi hal yang membuat tertarik tersebut. Misalnya Sistem Nilai kita adalah selalu tergila-gila pada sanjungan. Ketika seorang penjual sepatu menyanjung kita seperti yang kita suka supaya kita membeli sepatunya, kita langsung melamunkan atau membayangkan atau merasakan bangganya ketika diri kita sedang disanjung orang lain, maka sudah masuk perangkap hipnosis yang dibuat oleh diri sendiri. Tindakan kita selanjutnya mungkin jadi seperti tidak logis menurut pandangan orang lain, yaitu membeli sepatu tersebut yang mungkin harganya terlalu tinggi untuk sepatu dengan model seperti itu. Bahkan mungkin meskipun pasangan kita memberi tahu bahwa sepatu tersebut terlalu mahal dan tidak logis membelinya apalagi kemarin baru membelinya, kita seolah mengabaikan nasihat teman tersebut (mengabaikan keadaan sekeliling) dan tetap membeli sepatu tersebut (sesuai dengan sistem nilai yang kita miliki). Berikutnya, setelah membeli, tergantung lagi dengan bagaimana Sistem Nilai kita sendiri. Misalkan setelah kita memakai sepatu tersebut ternyata pandangan orang lain biasa-biasa saja (tidak ada satupun yang menyanjung bahkan bungkin malah mengejeknya) kita mulai berpikir dan mungkin baru menyadari bahwa sepatu yang kita beli tidak ada gunanya. Akhirnya kita kesal, menyalahkan orang lain, merasa ditipu oleh si penjual sepatu (atau dengan mudahnya kita akan mengatakan bahwa kita dihipnotis oleh si penjual sepatu).
Suatu Sistem Nilai terbentuk dari hasil interaksi manusia dengan lingkungannya sejak dia memiliki nyawa dalam kandungan, baik secara langsung dia alami sendiri atau tidak langsung dari pengalaman orang lain. Dapat juga karena pengaruh nilai-nilai tertentu di masyarakat sekelilingnya sehingga dalam dirinya tertanam dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya.
Sistem nilai yang inilah yang akan muncul secara spontan (sampai 3 – 6 detik pertama) atau refleks ketika kita merespons suatu stimulan. Apalagi jika stimulan tersebut sesuai dengan sistem-sistem nilai yang kita miliki, maka akan respon spontannya akan lebih lama sehingga kita seolah terjebak dalam stimulan tersebut. Seperti contoh membeli sepatu di atas jika kita belum menyadari bahwa orang-orang tidak menyanjung kita, maka kita masih tetap mengatakan bahwa kita telah membeli sepatu yang tepat.
Salah satu kisah nyata dari pengalaman klinik. Di permukaan, secara sadar, seorang klien mengatakan tidak ada apa-apa dengan ayahnya, dan dia merasa biasa saja dengan perlakuan kasar ayahnya. Tetapi, di bawah sadarnya berbeda. Setelah melalui hipnoterapi didapatkan bahwa sistem nilai orang tersebut adalah “takut pada orang kasar” dan program responnya adalah “selalu patuh pada orang yang ditakuti tersebut”. Sistem Nilai di bawah sadar ini mungkin terbentuk akibat suatu peristiwa sewaktu dia masih kecil, dimana saat itu ayah si klien marah dan kasar kepadanya sehingga dia takut tetapi dia harus mematuhi perintah ayahnya. Meskipun peristiwa itu sudah selesai tapi pengalaman itu tetap membekas (ter imprint) di bawah sadar klien dan dia tidak pernah tahu harus bagaimana selain hanya takut dan patuh jika menghadapi situasi yang sama dengan peristiwa tadi. Lalu apa yang terjadi ketika dia dewasa? Dia ditelpon seseorang yang belum dia kenal dengan gaya yang kasar (klien baru menyadari bahwa ternyata suara orang tersebut mirip seperti waktu ayahnya marah kepadanya waktu dia kecil tadi), dan orang yang telpon tadi memerintahkan dia untuk segera ke ATM dan mentransfer sejumlah uang dari rekeningnya ke rekening orang yang menelpon tadi. Dan persis, seperti kejadian waktu dia masih kecil, dia takut dan dia patuh melaksanakan perintah orang yang menelpon itu. Setelah semua itu terjadi, klien baru menyadari bahwa tabungannya selama hampir 1 tahun telah terkuras habis, sehingga dia sering melamun, malas berbicara, dan makanpun tidak berselera.
Untuk orang lain yang hanya melihat fenomena yang terjadi dan tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, tentu berpendapat bahwa klien telah kena gendam lewat telepon dan merasa bahwa klien telah kemasukan jin karena tidak mau bicara, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mau makan dan sebagainya.
Fenomena terakhir inilah yang disampaikan majikan klien kepada saya ketika dia menghubungi saya. Klien adalah seorang pembantu rumah tangga, uang di ATM itu sudah dia persiapkan untuk oleh-oleh orang tuanya di kampung.
Reaksi klien di atas adalah reaksi spontan karena informasi yang diterimanya sesuai dengan sistem nilai yang sudah terbentuk pada dirinya, yaitu “begitu takut dengan orang yang kasar, maka patuhilah perintahnya”.
Masih banyak lagi contoh pengalaman klinik seperti di atas dan bukan hanya dengan gaya “keras” seperti di atas, dengan gaya “halus” pun ada dimana si penipu bergaya seolah seorang ustad yang memiliki pesantren dan membutuhkan uang. Modusnya sama seperti di atas, hanya dengan gaya rayuan yang membuat orang yang ditipu itu merasa kasihan. Dan begitu semua uang di ATM diberikan kepada di penipu, penipu langsung kabur dengan berpura-pura akan mengambil kuitansi di temannya. Dan setelah dilakukan interiew pada sesi hipnoterapi, orang yang tertipu tadi hanya tertanam sistem nilai “Selalu lah takut dan patuh kepada seorang ustad”. Sistem Nilai ini sebenarnya bagus, hanya menurut saya masih kurang. Dia menganggap ustad di kota sama dengan ustad-ustad yang dikenal di kampungnya yang semuanya baik-baik. Kurangnya adalah dia perlu pembekalan juga bahwa di kota banyak penipu bergaya ustad.
Selain itu ada yang gayanya seolah-olah teman lama dengan cara menepuk pundak, sehingga orang yang ditepuk terkejut. Dan ketika terkejut si penipu langsung mengajak bicara seolah teman lama. Jika yang ditepuk tadi secara spontan merasa “cocok” dengan gaya si penepuk, maka dia sudah terperangkap dalam pengaruh hipnosis si penepuk. Dan selanjutnya tergantung bagaimana perbincangan yang terjadi. Seandainya orang yang ditepuk tadi merasa tidak kenal dengan orang yang menepuknya dan malas untuk berbicara dengannya atau malah mencemooh dalam hati kepada penepuknya,seperti mengatakan dalam hati “Siapa sih orang sok tahu ini, ngapain harus ngeladenin dia” maka proses hipnosis terhenti dan putus. Dan akhirnya dia keluar dari perangkap hipnosis si penepuk secara otomatis.
Berbeda kalau orang yang ditepuk tadi merasa terus “cocok” dengan si penepuk yang baru dikenalnya. Kecocokan ini dapat berarti dia suka dengan yang menepuknya atau kasihan atau mungkin malahan merasa takut sehingga takluk, akibatnya orang tersebut mau dan percaya saja atas omongan si penepuk dan mungkin akan selalu patuh mengikuti apa yang dimau si penepuk tersebut meskipun orang lain mengatakan selalu mematuhi yang diperintahkan si penepuk adalah tidak logis.
Ini dapat disamakan dengan cinta buta, misalkan ketika seorang pria menyukai seseorang wanita dengan sangat luar biasa meskipun orang lain mengatakan bahwa wanita itu jahat, penipu, dan sebagainya. Kita dapat memastikan bahwa si pria, selama dia mampu, akan selalu memenuhi apa yang diminta wanita tersebut, bahkan mungkin permintaan yang menurut kita tidak logis. Ya, si pria telah terhipnosis oleh si wanita. Mengapa bisa terhipnosis? Banyak orang mengatakan bahwa si wanita mempunyai ilmu pelet. Menurut saya, mengapa pria itu bisa tertarik dengan wanita tersebut, adalah karena sistem nilai yang dimiliki si pria sendiri (yang terbentuknya seperti telah dijelaskan di atas) yang cocok dengan kelakuan si wanita tadi. Jadi sekali lagi berkaitan dengan sistem nilai yang dimiliki orang yang dipengaruhi (dihipnosis).
Ada suatu hal yang menarik dari pengalaman klinik, dalam kasus seorang klien wanita yang nyaris diperkosa oleh temannya sendiri. Dia datang ke klinik dengan diantarkan orang tuanya. Orang tuanya mengatakan bahwa setelah setelah nyaris diperkosa anaknya sering berteriak-teriak, dan berlaku seolah menjadi orang lain (temannya yang nyaris menyetubuhinya), atau dengan kata lain, orang tuanya mengatakan bahwa dia kesurupan. Ketika ke klinik saya, tingkah lakunya memang seperti itu, berteriak-teriak dan berlaku seolah orang lain. Setelah melalui sesi hipnoterapi yang biasa saya lakukan (tentunya dengan cara terapi yang tepat yang seperti biasa saya lakukan pada klien-klien yang mengalami masalah mental block) akhirnya dia bisa tenang dan bisa berbicara dengan saya seperti orang biasa. Ceritanya dia merasa disihir atau dipelet sehingga dia patuh pada apa saja yang diminta temannya. Dia sempat sampai dengan telanjang, namun orang tuanya memergokinya ketika nyaris terjadi hubungan badan. Akhirnya temannya kabur pergi, dan tinggallah dia yang didamprat habis-habisan oleh orang tuanya. Dan setelah itulah dia menjadi seolah kesurupan. Beberapa hari kemudian setelah selesai sesi hipnoterapi, di suatu jaringan sosial media dia meminta meng “invite” saya untuk menjadi “friend” dan saya “approve”. Dan ketika saya jelajah sosial medianya, memang tidak heran, ternyata dia memang senang dengan dandanan yang seronok, dan mungkin sistem nilai yang dia miliki adalah tidak merasa risih meskipun dia harus bertelanjang di depan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Dia merasa terbiasa dengan hal yang demikian. Jadi, normal saja ketika dia diminta temannya sampai telanjang, dia merasa biasa-biasa saja. Sayapun memutuskan “friend” dengan dia, karena foto-fotonya sangat “provokatif”.
Berikutnya ada seorang wanita, yang terlihat sangat saleh tetapi dia diperkosa dan katanya dia dihipnosis. Setelah ditelaah dalam sesi hipnoterapi memang sistem nilai wanita itu pada saat itu adalah memang ingin segera/ kebelet menikah karena desakan orang-orang terdekatnya. Dan yang sebenarnya terjadi adalah wanita itu “termakan omongan” si pemerkosa bahwa dia akan segera dinikahi oleh si pria setelah dia mau berhubungan badan dengan dia. Setelah semua terjadi, si pria itu kabur entah kemana. Ya, ini lebih tepat dikatakan sebagai penipuan.
Kembali kepada pernyataan awal dalam tulisan ini, ada yang disebut sebagai hipnosis barat atau hipnosis timur, kedua duanya adalah sama-sama hipnosis. Secara prinsip psikologis atau esensinya, proses yang terjadi pada keduanya sebenarnya juga sama. Yang membedakannya di sini hanya dari caranya saja atau ritualnya saja. Biasanya saya menyebutkannya sebagai metodanya saja yang berbeda-beda. Dan di dunia ini ada ribuan metoda. Metoda atau ritual atau cara yang digunakan yang sangat tergantung pada sistem nilai yang ada dan berlaku pada masyarakatnya, seperti di suku Indian menggunakan tari-tarian dan mantera ketika seorang pemuka agama mengobati anggota sukunya yang sakit. Bahkan meditasi maupun berdoa dapat dikatakan sebahai salah satu metoda hipnosis. Ingat, Hipnosis hanyalah suatu istilah saja!
Mungkin sistem nilai di Indonesia pada umumnya sangat percaya dengan klenik, maka proses hipnosis dikait-kaitkan dengan hal-hal yang bersifat misterius dan klenik seperti roh, hantu, jin, tuyul dan sebagainya. Tentunya sistem nilai ini berbeda dengan di dunia barat dimana mereka tidak percaya dengan adanya tuyul, dan sebagainya, sehingga tentunya tidak mudah bagi mereka untuk mempercayainya. Akibatnya ketika mereka ditakut-takuti dengan jin atau hantu “buatan Indonesia” mereka tidak terhipnosis atau tidak terpengaruh seperti yang pernah terjadi di acara salah satu stasiun televisi
Hal ini bukan berarti saya tidak percaya dengan apa yang gaib. Saya sangat percaya dengan yang gaib, tetapi kita jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa hipnosis dikait-kait kaitkan dengan magick, sihir, jin atau apapun. Dan berdasarkan pengalaman saya sebagai hipnoterapis, dari puluhan klien yang datang yang mengeluhkan bahwa mereka telah digendam, telah disihir, bahkan telah diguna-guna atau disantet sehingga mereka seperti melihat ada jin atau tuyul di sebelahnya, merasa ada makhluk halus dalam dirinya, bahkan sampai yang kata orang sudah kesurupan dan sebagainya, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan dugaan mereka. Mereka lebih cenderung memiliki masalah psikologis atau mental block. Dan memang ada yang dengan hipnoterapi tidak bisa diselesaikan, yaitu orang-orang yang secara kejiwaannya disebabkan karena penyakit medis seperti schyzophrenia, autis atau ADHD (dan memang inipun setelah melalu seorang dokter atau psikiater). Memang tingkah laku mereka sangat dipengaruhi keadaan fisik meraka, bahkan mereka sering berhalusinasi baik seperti melihat orang lain maupun seolah mendengar sesuatu. Tingkah laku seperti ini pun terjadi dan sangat mirip pada orang narkoba yang sedang sakaw (sakit karena putaw) atau ketagihan yang mana penyembuhannya pun harus melalui penanganan secara medis seperti detoksifikasi.
Keadaan ini dapat kita ibaratkan ketika kita dalam keadaan sakit panas tinggi, maka kita akan lebih sensitif terhadap segala sesuatu, kitapun mungkin akan berhalusinasi, hanya mendengar dentingan suara sendok jatuhpun dapat membuat kita sangat terganggu dan marah, dan sebagainya.
Demikian juga dengan istilah “kesurupan”. Sekali lagi, jangan terburu-buru menghakiminya. Keadaan ini saya ibaratkan seperti seorang anak kecil yang senang mengkhayal menjadi seorang superhero atau sesuatu yang hebat. Saya sering menghadapi anak kecil yang ketika dia terdesak (misalnya karena kita ajak berkelahi-kelahian) maka dia langsung membuat dirinya seolah-olah seorang superhero kebanggaannya, bahkan cara bicara dan tinak tanduknya pun dimirip-miripkan, dengan tujuan agar membuat kita merasa takut. Hal ini persis seperti kasus kesurupan yang pernah saya tangani, dimana anak tersebut (usia 13 tahun) berlaku seolah-olah dia sebagai Prabu Siliwangi dan kadang-kadang menjadi seekor macan. Dengan pendekatan hipnoterapi yang sederhana anak itu langsung berhenti dari kesurupannya. Setelah saya telaah apa yang terjadi, ternyata anak tersebut mengalami tekanan mental karena dia akan menghadapi ujian nasional dimana dia merasa belum siap.
Keadaan seperti ini sering terjadi. Salah seorang kawan yang memiliki pabrik dimana lebih banyak karyawatinya mengatakan bahwa kesurupan ini sering terjadi ketika beban kerja di pabriknya sangat tinggi. Dan memang lebih sering terjadi pada wanita, karena seperti yang pernah disampaikan oleh H. Dr. Dadang Hawari kondisi fisik wanita lebih lemah daripada lelaki.
Kemudian ada pertanyaan, mengapa menular? Seperti kejadian kesurupan masal. Proses penularan itu terjadi seperti halnya ketika dalam suatu acara pertemuan dengan banyak orang, bila satu orang bertepuk tangan maka yang lainnya yang terpengaruh untuk ikut-ikutan bertepuk tangan. Bahkan, orang yang tidak tahu apa yang terjadipun bisa ikut-ikutan tepuk tangan. Dalam hipnosis, hal ini diistilahkan dengan terinduksi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menghipnosis adalah hanya suatu cara atau “tools” yang digunakan dalam menyampaikan pesan agar efektif (menghasilkan efek). Tidak peduli apakah efeknya mengikuti atau melawan pesan yang disampaikan. Dalam pelatihan hipnoterapi moderen juga diajarkan bagaimana agar orang seolah melawan pesan yang kita sampaikan, tetapi sebenarnya dia justru sedang mengikuti apa yang kita mau. Memang benar orang mengatakan bahwa hipnosis itu ibarat pisau, bisa digunakan untuk merajang sayuran atau bisa juga digunakan untuk membunuh. Tetapi, berbeda dengan pisau (bahwa pisau tersebut dapat digunakan menjadi apa tergantung pada si pemegang pisaunya), dalam hipnosis hal yaitu tidak berlaku karena sugesti apapun yang disampaikan, sangat tergantung pada sistem nilai orang yang dihipnosis apakah sistem nilainya mengikuti (mengijinkan) sugesti atau pesan yang disampaikan atau tidak.
Pada prinsipnya kita pasti selalu terhipnosis (Setiap waktu kita selalu trans atau terhypnosis seperti yang dikatakan Steven Heller), dan tergantung sistem nilai kita apakah kita mengikuti atau menolak pengaruhnya. Sehingga pembentukan sistem nilai ini menjadi krusial, baik itu sistem nilai dalam keluarga atau masyarakat. Sistem nilai yang terbentuk inilah yang nanti menjadi referensi atas sikap, tindakan dan perilaku seseorang.
Dalam kesehariannya Sistem Nilai ini tidak bisa kita hakimi sebagai bagus atau jelek, benar atau salah, logis atau tidak, baik atau buruk, dan sebagainya. Karena bisa saja sesuatu yang dikatakan orang lain sebagai tidak logis, tetapi bisa saja logis menurut ukuran kita. Atau baik menurut kita, tetapi buruk menurut orang lain. Demikian juga, yang kita gunakan dalam menghakimi Sistem Nilai orang lain (benar salah, baik buruk, dan sebagainya) adalah berdasarkan acuan Sistem Nilai yang kita miliki. Seorang hipnoterapis tidak ikut campur dalam soal Sistem Nilai yang dimiliki klien. Maksudnya, selama dia merasa nyaman dengan Sistem Nilainya, seorang hipnoterapis tidak bisa ikut campur. Kecuali dia merasa tidak nyaman dengan Sistem Nilainya dan dia berniat untuk mengendalikan Sistem Nilainya; di sinilah seorang hipnoterapis dapat membantunya. Mengenai bagaimanakah agar seseorang memiliki Sistem Nilai yang benar, hal ini sudah di luar domain seorang hipnoterapis. Yang menentukan, tentulah orang-orang yang lebih berkompeten untuk ini, seperti pemuka agama, orang tua, direktur suatu perusahaan, dokter dan sebagainya tergantung konteksnya dimana Sistem Nilai itu berada. Seperti dalam perusahaan, tentunya yang lebih berkompeten menentukan Sistem Nilai yang benar di perusahaan itu adalah Direksinya yang diwaliki oleh bagian HRD nya. Sedangkan mengenai Sistem Nilai yang benar dalam beribadah, yang lebih kompeten tentunya seorang pemuka agama, karena dia akan menjelaskan dengan dalil-dalilnya. Dan sebagainya.
Pembentukan sistem nilai tersebut dimulai dari usia dini. Anak menjadi seperti apa nanti, sangatlah tergantung pada sistem nilai yang terbentuk pada saat pertumbuhannya. Berdasarkan pengalaman saya sebagai hipnoterapis kepada ribuan klien, lebih dari 80% permasalahan atau hambatan mental seorang klien terjadi karena krisis dalam pembentukan sistem nilai pada masa anak-anaknya. Karena memang pada dasarnya suatu perilaku sekarang bukanlah muncul mendadak begitu saja, tetapi selalu ada penyebab dan dibentuk atau terbentuk sejak usia dini.
Next > |
---|